4 tokoh komunis indonesia yang terlahir dari keluarga religius
4 TOKOH KOMUNIS INDONESIA YANG
TERLAHIR DARI KELUARGA RELIGIUS
foto : bontanggraphic.blogspot.com
Akhir akhir ini isu komunis begitu sensitif di negara
kita. Gerakan komunis yang direpresentatifkan melalui Partai Komunis Indonesia
( PKI ) sebagai organisasi terlarang, diisukan bangkit kembali setelah
kematiannya hampir setengah abad yang lalu. Momok mengerikan tentang kisah
kekejaman PKI melalui rangkaian cerita sejarah terbitan orde baru, seakan
membekas hingga generasi saat ini. Rezim orde baru dirasa sukses membuat
diaroma kekejaman PKI, mengemasnya dalam berbagai cerita mencekam hingga
menfilmkannya sebagai film tontonan wajib tuk semua kalangan setiap tanggal 30
september, selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa.
Seorang komunis selalu diidentikan dengan seorang
atheis. Ateis atau ateisme dan komunis atau komunisme seakan menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ateisme tidak sama dengan komunisme. Ateisme
adalah ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan. Dalam hal ini Tuhan
personal, Sang Maha Pencipta, dan Maha Berkehendak. Sementara komunisme adalah
ideologi ekonomi politik. Oleh karena itu, tidak semua ateis adalah komunis dan
tidak semua komunis adalah ateis. Seorang ateis bisa saja memiliki pandangan
liberal, sekuler, kapitalis, atau juga komunis. Sementara itu, walaupun mungkin
sebagian besar komunis adalah ateis, ada banyak orang beragama atau teis yang
menganut komunisme sebagai ideologi ekonomi politiknya. Di Indonesia contoh yang terkenal adalah Haji Misbach.
Sementara di India komunisme bukan hanya dirangkul, tetapi juga dipimpin oleh
muslim, sementara di Amerika Latin, komunisme/marxisme mempengaruhi ajaran
Katolik sehingga terbentuklah Teologi Pembebasan. Komunisme adalah paham yang
menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua barang produksi
harus menjadi milik bersama.
Berikut 4 tokoh komunis indonesia yang terlahir dari
keluarga religius :
foto : sukasaya.com
1. Dipa Nusantara Aidit ( D.N.Aidit )
Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan D.N.
Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI ). Ia
dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di
belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab
dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya,
Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan
kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR
(Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan
sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada
Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari maninjau, agam, sumatera barat.
Tidak banyak orang mengetahui bahwa
seorang aidit dilahirkan dari keluarga taat beragama. Walau dididik lewat
sekolah belanda masa itu, keluarga aidit tumbuh dari keluarga taat beragama.
Ayahnya abdullah aidit, adalah
seorang mantan matri kehutanan dan juga tokoh pendidikan islam di belitung,
pendiri nurul islam, organisasi keagamaan yang dekat dengan Muhammadiyah. Aidit
dan saudaranya belajar mengaji kepada pamannya, abdurrachman ketika kecil.
Aidit bahkan khatam Al qur’an tiga kali, dan dikenal tukang adzan dikampungnya,
karena suaranya sangat keras dan lantang. Hal ini yang menjadi modal besar ia
saat dewasa kelak menjadi salah satu orator ulung partai komunis indonesia (
PKI ), dan terpilih sebagai ketua CC ( comittee central ) PKI.
foto : mkssej21.blogspot.co.id
2.
Musso
Musso atau Paul Mussotte, bernama lengkap Muso Manowan. Lahir di kediri, jawa
timur pada tahun 1948, dan meninggal dunia di madiun 31 oktober 1948, jawa
timur saat pecah pemberontakan PKI 1948. Ia adalah seorang tokoh komunis
Indonesia, yang memimpin PKI pada era 1920-an dan dilanjutkan pada
pemberontakan PKI Madiun 1948. Musso
berasal dari keluarga berada dan hidupnya berkecukupan. Ayahnya, Mas Martorejo adalah pegawai bank di
Kecamatan Wates. Ibunya mengelola kebun kelapa dan kebun mangga. Sedari kecil
Musso rajin mengaji di mushala di desanya. Namun berdasarkan Penelusuran
merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai
besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu
adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan
Diponegoro.
Kabar
bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal
Ning Neyla Muna, keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu
adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda)
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda)
foto : majalahsedane.org
3. Haji
Misbach
Haji Mohamad Misbach yang lebih dikenal
dengan Haji Misbach atau Haji Merah (Surakarta, 1876–1926), dilahirkan di Kauman, di sisi
barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan
dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia
bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi Darmodiprono setelah menikah.
Dan usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad
Misbach. Ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik yang kaya
raya.
Pada usia sekolah, dia ikut pelajaran keagamaan
dari pesantren, selain di sekolah bumiputera
"Ongko Loro". Basis pesantren serta lingkungan keraton
Surakarta inilah yang kemudian mempengaruhi sosok Misbach nantinya menjadi
seorang Mubaligh. Meski orang tuanya
menjabat sebagai pejabat keagamaan keraton, hal tersebut tidak membuat dia jauh
dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
Sepak terjang Haji Misbach di pergerakan komunis
terlihat sejak tahun 1920 an, Pada kongres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang
dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat
komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan komunisme
dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengkritik pimpinan SI Putih yang
munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri sendiri.
Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya terhadap Tjokroaminoto di Medan
Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin Organsisi Tjokroaminoto
Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”.
Kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang
tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih ikut
Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI
Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia pun muncul sebagai
pimpinan PKI di Surakarta, yang kemudian mengubah surat kabar Islam Bergerak
menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI Yogyakarta
berbahasa Melayu,
Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat
Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak
menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama
dengan berjuang melawan setan.
foto : wikipedia
4. M.
H. Lukman
M.H. Lukman atau nama panjang Muhammad
Hatta Lukman (lahir Tegal, Jawa Tengah, 1920 - wafat pada
tahun 1965) adalah
tokoh komunis
Indonesia.
Ia adalah Wakil Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia. Lukman diam-diam
dieksekusi mati pada akhir 1965 selama pembersihan anti-komunis 1965-1966,[1]
tanpa kejelasan hukum karena ia dianggap telibat dalam pemberontakan yang
dilakukan oleh Letkol
Untung dan kawan-kawan serta PKI, sehingga disalahkan atas peristiwa Gerakan 30 September oleh rezim Orde Baru.
Ayah Lukman adalah seorang kyai, yang konon aktif
di Sarekat Rakyat. Pada tahun 1926 ayah Lukman, Haji Muchlas melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial Belanda dan kemudian dipenjarakan
karena peristiwa pemberontakan itu. Pada tahun 1929 Haji Muchlas dan
keluarganya, termasuk Lukman kecil bersama adiknya ikut dibuang ke kamp tahanan
Boven
Digul, Papua Barat. Lukman, yang saat itu baru berusia 9
tahun, ikut dalam pembuangan tersebut. Dia tumbuh dewasa di antara tahanan
politik. Saat di Boven Digul ayah Lukman dekat dengan Bung
Hatta. Lukman pun diangkat anak oleh Bung Hatta. Karena persahabatan ayah
Lukman dengan Bung Hatta yang begitu mendalam, Haji Muklas lalu memberikan nama
M.H. di depan nama Lukman, yang menjadi Muhammad Hatta Lukman.
Pada tahun 1938 Lukman kembali ke
kota asalnya Tegal,
dan bekerja sebagai seorang kondektur bus sampai tahun 1942. Kemudian pada
tahun 1943 dia bergabung dengan D.N. Aidit dan menjadi salah satu pimpinan
dalam PKI.
Saat peristiwa
Madiun terjadi, MH. Lukman dikabarkan mendapat perlindungan dari Mohammad
Hatta sehingga dia bisa bebas dan melarikan diri keluar negeri bersama D.N. Aidit. Karier politiknya melesat bersama
PKI dan dia diangkat menjadi Menteri
Negara oleh Soekarno.
Itulah 4 tokoh komunis indonesia yang terlahir
dari keluarga religius. Kita wajib mengambil sisi positif dari kisah diatas,
agar menjadi pembelajaran sejarah untuk indonesia ke depan.
*diolah dari berbagai sumber